Bab 63
Samara sedang menatap Asta tanpa berkedip, tetapi malu karena rahasianya dibuka terang
terangan oleh Javier.
“Uhuk uhuk…Javier, omong kosong apa ini!”
“Ibu, saya tidak omong kosong!” Mulut kecil Javier mengerucut: “Jeroanmu sudah dimasak
lebih dari 2 menit, terlalu matang tidak bisa dimakan lagi!”
Tatapan matanya beralih pada jeroan terendam di dalam sup merah,
Memang betul, jeroan itu sudah mengerut, terlihat jelas sudah terlalu matang.
Tahu bahwa bocah ini tidak sembarangan omong, tetapi Samara tidak mungkin mengaku
dirinya menatap Asta sampai terlena.
“Kamu tidak mengerti, saya memang suka makan yang agak matang.”
Selesai berkata, Samara langsung memasukkan jeroan itu ke dalam mulut, sama sekali
tidak mengangin-anginkannya, ingin segera memusnahkan bukti.
Tetapi…
Jeroan baru saja keluar dari sup merah, sangat pedas dan panas.
Di saat seperti ini, dia tidak boleh kehilangan muka dihadapan putranya.
Maka itu, jelas-jelas dia sangat kepanasan, tetapi wajahnya biasa-biasanya saja.
Pura-pura!
Tidak boleh kebilangan muka.
Samara menahan panas itu, Javier tidak melihat sesuatu yang tidak beres,
Asta menuangkan segelas penuh air soda yang disisi tangan Samara, matanya tersirat
tawa, bibir tipisnya sedikit mengerucut, membentuk sebuah lengkungan yang enak
dipandang.
Wanita ini saat keras mului pun begitu imui?
Selesai bersantap, Samara mengawasi panci yang berminyak dan piring kosong yang
tadinya tersusun bahan sayuran, lalu menggulung lengan baju dan membawa ke dapur
untuk dicuci.
Di sisi lain.
Javier menarik Asta masuk ke dalam kamar tidurnya.
Javier duduk bersila di atas ranjang, tatapan mata beradu sejajar dengan Asta yang duduk
diatas karpet, mata besar bertemu dengan mata kecil.
“Paman…” sebelah tangannya menopang pipi tembemnya, lalu mengangkat alis dan
berkata pada Asta: “Kemarin sewaktu bertemu, kamu bilang tidak tertarik pada ibuku!”
“Iya.”
“Kuberitahu kamu, ibuku sangat luar biasa, punya bakat dan kecantikan, saya tidak
berbohong, kan?” Bocah itu membusungkan dadanya, wajah tembemnya terlihat girang:
“Paman, apakah kamu menyesal sehingga bermaksud berubah pikiran?”
“Saya tidak bermaksud berubah pikiran.”
“Hah?” Javier mengira Asta ingin mendua, pipi tembemnya langsung marah: “Kamu
memikirkan wanita lain, masih berani mengganggu ibuku?.”
“Waktu itu saya tidak tahu Samara adalah ibumu.” Mata tajam Asta bersinar: “Sebenarnya,
selama ini hanyalah ibumu seorang saja.”
“Kamu sejak awal sudah tertarik pada ibuku?”
Asta terdiam sejenak lalu mengangguk pelan.
“Iya.”
Javier mengangguk puas.
Berani mengaku, intinya Asta tidak membenci topeng wajah ibu, membuktikan bahwa pria
ini tidak berpikiran dangkal, yang disukainya adalah jiwa dan bakat ibu.
“Ibuku tidak mudah dikurjar, mungkin dia telah dilukai terlalu dalam oleh ayah
kandungku?”
*Ayah kandungmu?”
“Sorang penyelundup,” Bocah berkata tanpa emosi: “Saya hanya pernah melihat fotonya,
lima tahun yang lalu bilang ditelan bumi, tidak tahu apakah sudah meninggal di sudut
dunia, jangan jangan rumput yang tumbuh diatas kuburannya sudah setinggi badanku.”
“Ibupu yang memberitahumu?”
“Ibu hanya bercerita setengah saja, viengalinya lagi adalah hasil selidikan saya dan
kakakku.”
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm
Mendengar ucapannya, alis miata Asta berkerut kelat, bahkan matanya berubah menjadi
serius.
Mengapa Samara bisa mengira ‘dia’ adalah penyelundup?
Mengapa dia bisa membuang Oliver dan Olivia, bahkan tidak mengetahui keberadaan
mereka?
Mengapa dia bisa tidak ingat sedikitpun padanya?
Setelah mencuci alat makan, Samara membuka pintu kamar Javier, melihat Javier dan Asta
duduk bersila didepan layar komputer LED 27 inci.
Seorang pria dewasa dan seorang anak kecil masing-masing memegang sebuah ponsel,
sedang membentuk pasukan untuk bermain permainan penyerangan menara.
Kedua orang itu sangat fokus, bahkan tidak memperhatikan Samara yang berdiri di depan
pintu.
“Paman, di jalan tengah muncul seorang pembunuh, cepat kesini.”
“Baik.”
Samara juga pernah menemani Javier bermain permainan.
Tetapi ketika dia menemani Javier membentuk pasukan, tidak pernah melihat senyum cerah
seperti ini,
Ketika berduaan, kedua orang ini…
Seperti sepasang ayah-anak yang sedang bermain permainan.